Kontroversi Terbaru Tajikistan terkait Larangan Hijab dan Aturan Nama

- 27 Juni 2024, 08:00 WIB
Tajikistan menghadapi kontroversi setelah melarang hijab dan regulasi nama, menyoroti kebijakan sekuler yang menentang simbol-simbol keagamaan.
Tajikistan menghadapi kontroversi setelah melarang hijab dan regulasi nama, menyoroti kebijakan sekuler yang menentang simbol-simbol keagamaan. /X.com @yopilates/

Betare Belitong - Tajikistan telah menarik perhatian internasional setelah mengesahkan undang-undang pekan lalu yang melarang penggunaan hijab di ruang publik. Larangan ini merupakan aturan anti-Muslim terbaru yang diterapkan oleh pemerintahan sekuler di bawah Presiden Emomali Rahmon.

Meskipun 96 persen dari total sekitar 10,3 juta penduduk Tajikistan adalah Muslim, pemerintah menerapkan larangan terhadap simbol-simbol keagamaan seperti hijab.

Pada awal 2016, Tajikistan juga merancang undang-undang yang melarang penggunaan "nama asing," terutama yang berbau Arab dan Islam, dalam pembahasan amandemen Undang-Undang Keluarga dan Pencatatan Sipil. Menteri Kehakiman Tajikistan, Rustam Shohmurod, berpendapat bahwa nama asing telah menyebabkan perpecahan dalam masyarakat Tajik.

Media lokal saat itu melaporkan bahwa tujuan larangan ini adalah untuk menanggulangi tren di Asia Tengah, di mana semakin banyak orang tua memberikan nama-nama anak mereka yang berbau Arab.

RUU ini muncul setelah Presiden Rahmon memerintahkan parlemen untuk mempertimbangkan larangan pendaftaran nama yang dianggap terlalu Arab, seperti yang dilaporkan oleh seorang pejabat dari Departemen Pencatatan Sipil Kementerian Kehakiman kepada Interfax dan The Guardian pada tahun 2015.

Setelah regulasi ini diberlakukan, kantor pendaftaran dilarang mendaftarkan nama-nama yang dianggap asing secara budaya, termasuk nama-nama yang berasal dari objek, flora, fauna, dan asal Arab, menurut Jaloliddin Rahimov, pejabat di Kementerian Pencatatan Sipil Tajikistan.

Sejak berkuasa pada tahun 1994, Rahmon secara konsisten berupaya menjadikan Tajikistan sebagai negara sekuler dengan mempromosikan prinsip-prinsip ini dan mencegah praktik keagamaan dan keyakinan asing mengakar dalam kehidupan politik dan sosial negara tersebut.

Menurut Radio Free Europe, nama-nama seperti Sumayah, Aisha, dan Asiya, yang sebelumnya jarang digunakan di Tajikistan, kini menjadi pilihan populer untuk anak perempuan dalam beberapa tahun terakhir. Begitu pula dengan nama-nama seperti Muhammad, Yusuf, dan Abubakr yang semakin populer di kalangan anak laki-laki Tajikistan.

Selain itu, undang-undang melarang penambahan awalan berbau Arab seperti Mullah, Khalifa, Syekh, Amir, dan Sufi pada nama-nama laki-laki.

Halaman:

Editor: Angga


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah